spot_img
spot_img
BerandaopiniRefleksi Bangsa: Ketika Kebenaran Tak Lagi Diperjuangkan

Refleksi Bangsa: Ketika Kebenaran Tak Lagi Diperjuangkan

Refleksi Bangsa: Ketika Kebenaran Tak Lagi Diperjuangkan

Catatan Aendra MEDITA*
“Kebenaran yang ditekan akan meledak lebih keras ketika waktunya tiba.”
— Soekarno
Ada yang lebih menakutkan dari kebohongan: ketika sebuah bangsa mulai terbiasa menolak kebenaran. Ia tidak datang dengan wajah garang, tapi dengan senyum yang tenang — dengan alasan demi stabilitas, demi persatuan, demi “kebaikan bersama.” Padahal yang sedang dijaga bukan bangsa, melainkan kenyamanan kekuasaan.
Di negeri ini, kebenaran sering kali tidak kalah karena ia lemah, melainkan karena terlalu banyak orang yang takut kehilangannya. Mereka takut kehilangan jabatan, kehilangan akses, kehilangan pengaruh. Maka kebenaran pun ditunda, diatur, bahkan disembunyikan — seolah waktu bisa menghapusnya. Padahal, seperti air yang mencari celah, kebenaran selalu menemukan jalannya sendiri.
Kebenaran yang Dianggap Ancaman
Bangsa yang sehat adalah bangsa yang mampu menerima kenyataan, meski pahit. Tapi ketika kritik dianggap serangan, ketika data dilawan dengan perasaan, ketika suara berbeda dicurigai sebagai pengkhianatan — di situlah tanda-tanda penyakit kebangsaan mulai nyata. Kita hidup dalam ruang yang ramai oleh suara, tapi miskin keberanian untuk mendengar.
Menolak kebenaran sering kali dibungkus dengan dalih moralitas. Tapi sejatinya, itu hanya cara halus untuk mempertahankan dominasi. Kekuasaan yang takut pada kebenaran adalah kekuasaan yang rapuh; ia bergantung pada kebisuan orang lain. Maka mereka yang mencoba bicara jujur sering dipinggirkan, dicap pembuat gaduh, bahkan dimusuhi oleh bangsanya sendiri.
“Menipu rakyat adalah dosa terbesar terhadap bangsa sendiri.”
— Bung Hatta
Padahal bangsa ini tidak tumbuh dari diam. Ia lahir dari keberanian berkata tidak terhadap ketidakadilan, dari mereka yang lebih mencintai kebenaran daripada kenyamanan. Kini semangat itu seakan memudar, tergantikan oleh generasi yang pandai menyesuaikan diri tapi enggan mengoreksi arah.
Bangsa dan Ilusi Kestabilan
Kita sering memuja “stabilitas” seolah itu lambang kemajuan. Padahal, stabilitas tanpa kebenaran hanyalah bentuk lain dari pembusukan yang rapi. Di permukaan tampak tenang, tapi di bawahnya retak pelan-pelan. Bangsa yang terlalu takut pada guncangan justru tidak pernah benar-benar tumbuh.
“Di tengah kebohongan, kebenaran menjadi tindakan revolusioner.”
— George Orwell
Kita melihatnya dalam berbagai wujud: lembaga yang enggan transparan, pejabat yang alergi kritik, media yang kehilangan nyali. Semua tampak bekerja normal, padahal diam-diam sedang mematikan daya kritis publik. Lalu ketika kebenaran akhirnya muncul, kita pura-pura terkejut — seolah tidak pernah tahu.
Namun bangsa yang menolak bercermin hanya menunda kehancurannya. Sebab kebenaran bukan musuh bangsa; justru ia fondasi yang menjaganya tetap waras. Tanpa keberanian mengakui salah, tidak ada pembelajaran. Tanpa pembelajaran, kita hanya mengulang kebodohan yang sama dengan wajah baru setiap era.
Mencari Kembali Keberanian Moral
Bangsa besar tidak diukur dari megahnya bangunan, tapi dari sejauh mana ia berani menghadapi kenyataan. Kebenaran memang sering menyakitkan — ia bisa meruntuhkan reputasi, menggoyang kenyamanan, bahkan menjatuhkan penguasa. Tapi justru di situlah kedewasaan kolektif diuji.
Bangsa yang berani menerima kebenaran tidak akan hancur; ia justru menemukan arah. Seperti tubuh yang sakit tapi mau diobati, bangsa yang mengakui luka-lukanya sedang memberi kesempatan bagi dirinya untuk sembuh. Sebaliknya, bangsa yang terus menolak kebenaran sedang mempercepat pembusukan di dalam dirinya sendiri.
Kita butuh generasi yang tidak takut kehilangan kekuasaan demi mempertahankan kejujuran. Generasi yang tahu bahwa jabatan bisa diwariskan, tapi integritas tidak. Karena tanpa integritas, kekuasaan hanya jadi panggung sandiwara — indah di depan kamera, tapi kosong di ruang nurani.
Menatap Cermin Bangsa
Barangkali refleksi terbesar kita hari ini sederhana: beranikah kita melihat bangsa ini sebagaimana adanya — tanpa kosmetik propaganda, tanpa narasi pencitraan? Beranikah kita mengakui bahwa di balik keberhasilan ada kelalaian, dan di balik pujian ada kepalsuan yang kita pelihara bersama?
Kita sering mengeluh tentang pemimpin yang menolak kebenaran, tapi lupa bahwa masyarakat pun kerap ikut menikmati kebohongan yang nyaman. Kita menertawakan mereka yang berkuasa, tapi diam-diam kita pun ingin tetap aman di balik kebisuan. Pada akhirnya, bangsa ini bukan hanya korban kebohongan, tapi juga pelestarinya.
Menerima kebenaran bukan sekadar urusan moral pribadi; ia adalah tindakan politik tertinggi. Sebab bangsa yang berani jujur pada dirinya sendiri sedang membuka jalan bagi masa depan yang lebih sehat. Ia tidak takut runtuh, karena tahu setiap runtuhnya kebohongan adalah awal dari bangunan yang lebih kokoh.
Bangsa yang Tidak Takut pada Kebenaran
Sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani jujur. Rezim boleh berganti, wajah kekuasaan boleh berubah, tapi kebenaran tak pernah mati. Ia mungkin ditunda, dipelintir, bahkan dilupakan sementara. Namun ia selalu kembali, seperti matahari yang menembus kabut.
Kita hanya perlu satu hal: keberanian moral untuk tidak ikut menolak kebenaran. Sebab bangsa ini tidak akan hancur karena musuh di luar, tapi karena ketakutan di dalam diri kita sendiri — ketakutan untuk jujur, untuk mengakui, untuk memperbaiki.
Jika suatu hari bangsa ini ingin benar-benar besar, maka langkah pertamanya bukan membangun gedung baru, bukan membuat slogan baru, melainkan berani mengucap kebenaran, meski harus kehilangan kenyamanan.
Sebab kebenaran yang diterima adalah tanda kemerdekaan sejati. Dan bangsa yang tidak takut pada kebenaran — itulah bangsa yang benar-benar merdeka.

*)Aendra Medita, Jurnalis Senior dari Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK).

spot_img

explore more

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini