Oleh: Radhar Tribaskoro
Perubahan kepemimpinan nasional selalu membawa perubahan dalam tata bahasa kebijakan ekonomi. Di bawah Sri Mulyani, ekonomi Indonesia diasosiasikan dengan rasionalitas teknokratik: disiplin fiskal, kehati-hatian utang, dan kehormatan angka-angka. Di bawah Prabowo Subianto dan Purbaya Yudhi Sadewa, wajah ekonomi tampak lebih politis, penuh slogan, dan sketsa bahasa moral: keadilan, kemandirian, hilirisasi, kedaulatan pangan.
Bagi sebagian kalangan teknokrat, ini dianggap sebagai — tanda lahirnya ekonomi retorika yang menggantikan ekonomi rasional (Mohamad Ikhsan, Kompas 29 September 2025). Namun jika dibaca melalui teori sistem Niklas Luhmann, fenomena ini justru dapat memecahkan masalah sebagai lokomotif antara sistem ekonomi dan sistem politik, yang muncul ketika diferensiasi fungsional gagal berkomunikasi dengan masyarakat.
Saya mendukung diferensiasi fungsional sistem ekonomi agar rasionalitasnya terjaga. Tetapi saya menolak klaim sterilitas sistem ekonomi yang dijadikan alat untuk menutup bias politik. Retorika dalam ekonomi bukanlah tanda kemerosotan diferensiasi, melainkan tanda kegagalan komunikasi teknokratik, dan karenanya perlu dipahami sebagai mekanisme koreksi sosial yang sah.
Rasionalitas Ekonomi Sri Mulyani: Ekonomi sebagai Sistem yang Autopoietik
Selama hampir dua dekade, Sri Mulyani menjadi simbol konsistensi rasionalitas ekonomi di Indonesia. Ia beroperasi dengan keyakinan Weberian bahwa kebijakan publik dapat dikelola dengan prinsip efisiensi dan objektivitas. Rasionalitas, dalam pandangan ini, merupakan jalan menuju keadilan melalui disiplin fiskal: menjaga defisit, mengendalikan utang, dan menekan belanja yang tidak produktif.
Pendekatan ini mencerminkan apa yang dalam teori sistem Luhmann disebut sebagai autopoiesis sistem ekonomi—sistem yang beroperasi melalui kode bayar/tidak bayar, efisien/tidak efisien. Sistem ini menutup diri dari moralitas politik, karena menganggap dirinya berfungsi dengan logikanya sendiri.
Dalam kerangka Luhmannian, ini adalah bentuk diferensiasi fungsional yang ideal: ekonomi dan politik yang beroperasi secara otonom. Politik mengambil keputusan melalui kekuasaan; perekonomian menyeimbangkannya melalui efisiensi. Hasilnya, kerumitan masyarakat bisa dikelola tanpa satu sistem menelan sistem lain.
Namun otonomi ini menyimpan paradoks. Dengan menolak “kontaminasi politik”, sistem ekonomi juga menolak kebutuhan komunikasi sosial. Ia menjadi rasional tapi sunyi—efisien tapi dingin. Di sinilah muncul gejala-gejala klasik diferensiasi yang terlindungi: sistem kehilangan resonansi sosial (Luhmann, Soziale Systeme, 1984).
Selama Sri Mulyani menjaga stabilitas makro, merenggangkan sosial tetap melebar. Ekonomi tumbuh, tapi rasa adil tak ikut naik. Disiplin fiskal menjaga angka, tapi kehilangan makna. Dalam bahasa Luhmann, sistem ekonomi berhasil mempertahankan penutupan—tetapi gagal membangun keterbukaan terhadap lingkungannya.
Retorika Ekonomi Prabowo–Purbaya: Politik Sebagai Medium Koreksi
Kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo tampil dengan idiom yang kontras. Alih-alih menonjolkan rasio fiskal, Prabowo berbicara dengan moralitas nasionalis: makan bergizi gratis, hilirisasi besar-besaran, kedaulatan pangan, keadilan sosial, dan pemerataan. Ekonomi menjadi arena narasi moral dan simbolik — sebuah “rasa politik” yang berusaha mengembalikan legitimasi negara di mata rakyat.
Dalam kerangka Luhmann, ini dapat dibaca sebagai penguatan struktural antara sistem politik dan sistem ekonomi. Politik tidak hanya menggunakan ekonomi sebagai instrumen, tapi juga menanamkan kode moralitas ke dalamnya. Jika ekonomi beroperasi dengan kode bayar/tidak bayar, maka politik membawa kode berkuasa/tidak berdaya, yang kini diterjemahkan menjadi adil/tidak adil, berpihak/tidak berpihak.
Retorika ekonomi Prabowo–Purbaya bukan semata-mata bentuk populisme, melainkan bentuk komunikasi lintas-sistem yang menuntut ekonomi agar lebih komunikatif terhadap publik. Ia mengembalikan ekonomi ke ruang simbolik masyarakat, sesuatu yang diabaikan selama dominasi masa teknokrat.
Namun tentu saja, bentuk kopling seperti ini juga berisiko. Bila politik terlalu dalam mengintervensi ekonomi, maka sistem ekonomi kehilangan kemampuan koreksi internal. Rasionalitas berubah menjadi instrumentalisasi: keputusan fiskal ditentukan bukan oleh kalkulasi jangka panjang, tetapi oleh kebutuhan simbolik kekuasaan.
Dalam hal ini, retorika ekonomi dapat menjadi dua hal sekaligus: mekanisme koreksi sosial terhadap teknokrasi yang terlindungi, sekaligus ancaman terhadap sistem otonomi ekonomi bila tidak diatur keseimbangannya.
Dari Rasionalitas ke Legitimasi: Ketika Sistem Kehilangan Komunikasi
Luhmann menulis bahwa sistem sosial bertahan bukan karena kebenaran, melainkan karena keinginan komunikasi. Bila sistem komunikasi gagal ekonomi diterima oleh masyarakat, sistem itu kehilangan legitimasi.
Krisis legitimasi inilah yang menimpa rasionalitas ekonomi teknokratik di Indonesia. Masyarakat yang tidak paham bahasa angka merasa terasing dari negara yang mengelola uang mereka. Defisit PDB 2,9 persen, rasio utang 39 persen, inflasi 2,5 persen — semuanya benar, tapi tidak bermakna.
Di titik inilah retorika muncul sebagai pemulihan sosial. Ia bukan sebuah kisah, tetapi medium pemulihan makna. Prabowo dan Purbaya memahami bahwa legitimasi kebijakan ekonomi tak lagi bisa ditopang oleh angka, melainkan oleh cerita: tentang mengatasi kebocoran anggaran, tentang keadilan, tentang kedaulatan, tentang Indonesia yang bangkit.
Dengan bahasa Luhmann, retorika ini berfungsi sebagai mekanisme penghubung antara sistem ekonomi yang kompleks dan sistem politik yang berorientasi pada legitimasi. Ia memulihkan resonansi sosial yang hilang dari ekonomi rasional, meski dengan risiko mempolitisasi angka.
Maka, ketika para teknokrat menuduh Prabowo membawa perekonomian ke ranah populisme, sesungguhnya mereka sedang menyaksikan efek dari kegagalan mereka sendiri: kegagalan menjembatani komunikasi antara sistem ekonomi dan masyarakat.
*Kritik terhadap Sterilitas Ekonomi: Ilusi Objektivitas*
Klaim bahwa ekonomi bisa steril dari politik adalah bentuk fetisisme rasionalitas. Dalam praktiknya, ekonomi selalu politis: dalam asumsi, dalam prioritas, bahkan dalam definisi apa yang disebut “efisien.”
Ketika subsidi dikurangi atas nama efisiensi, itu adalah keputusan politik yang menyembunyikan nilai preferensi: bahwa stabilitas dianggap lebih penting dari pemerataan. Ketika Sri Mulyani mengadakan belanja sosial, ia sebenarnya juga memilih posisi politik — hanya saja dalam bahasa teknokratik yang tampak netral.
Diferensiasi fungsional bukan berarti perpecahan total. Ia adalah cara sistem menata kompleksitas agar bisa saling berinteraksi tanpa menelan satu sama lain. Oleh karena itu, akumulasi antara ekonomi dan politik adalah keniscayaan; yang penting adalah *kualitas komunikasi di dalam kopling itu.*
Saya tetap mendukung diferensiasi fungsional sistem ekonomi agar rasionalitasnya terjaga. Tetapi saya menolak klaim sterilitas sistem ekonomi yang dijadikan alat untuk menutup bias politik. Retorika dalam ekonomi bukanlah tanda kemerosotan diferensiasi, melainkan tanda kegagalan komunikasi teknokratik, dan karenanya perlu dipahami sebagai mekanisme koreksi sosial yang sah.
Dengan demikian, memasukkan antara “ekonomi rasional” dan “ekonomi retorika” tidak memuat antara benar dan salah, melainkan antara dua cara berkomunikasi yang gagal saling mendengar.
Kopling Struktural: Dari Ketegangan ke Keseimbangan
Dalam teori sistem, kopling struktural adalah titik di mana dua sistem berbeda saling berinteraksi tanpa kehilangan otonominya. Kopling ini bisa menjadi bencana bila salah satu sistem terlalu dominan, tapi juga bisa menjadi sumber inovasi bila dikelola dengan transparansi.
Perekonomian Prabowo–Purbaya menunjukkan bentuk kopling baru: politik tidak lagi hanya menjadi “penyedia stabilitas,” tetapi ikut menentukan orientasi nilai dari kebijakan ekonomi. Namun agar memproduksi ini produktif, ia harus disertai mekanisme koreksi ganda:
1. Ekonomi tetap memelihara rasionalitasnya – kebijakan harus bisa diuji secara empiris, tidak hanya simbolik.
2. Politik memelihara transparansinya – narasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan publik.
Keduanya harus berada dalam hubungan interpenetrasi (Luhmann), bukan subordinasi. Ketika ekonomi hanya menjadi alat politik, sistem kehilangan umpan balik rasional. Tapi ketika politik disingkirkan sama sekali, ekonomi kehilangan makna sosial.
Oleh karena itu, retorika ekonomi bukanlah ancaman terhadap rasionalitas, melainkan sinyal bahwa sistem sedang mencari bentuk-bentuk baru untuk menyeimbangkan diri.
Menuju Rasionalitas yang Berhati Nurani
Baik Sri Mulyani maupun Prabowo–Purbaya berangkat dari niat yang sah: menjaga negara tetap berjalan. Namun satu berangkat dari logika efisiensi, yang lain dari logika legitimasi. Yang satu percaya pada data, yang lain percaya pada narasi. Dalam dunia yang semakin kompleks, keduanya dibutuhkan. Ekonomi tanpa moral menjadi tirani angka; rasio politik tanpa menjadi tirani keinginan.
Yang dibutuhkan adalah rasionalitas yang berhati nurani — ekonomi yang tidak kehilangan kemampuan menghitung, tetapi tahu apa yang diperjuangkan.
Dalam konteks ini, retorika bukan sekedar “kata-kata,” melainkan energi sosial yang menghidupkan komunikasi antara negara dan rakyat. Bila digunakan secara jujur, retorika dapat menjadi bentuk empati politik yang melengkapi rasionalitas ekonomi.
Seperti ditulis Luhmann, sistem sosial bertahan bukan karena kebenaran, tapi karena kemampuan berkomunikasi tentang dirinya sendiri. Retorika ekonomi, dalam pengertian ini, adalah refleksi sistem atas dirinya: ia menandai bahwa ekonomi sedang berupaya memahami kembali maknanya di tengah masyarakat.
Ekonomi Sebagai Komunikasi
Pertentangan antara ekonomi rasional dan retorika ekonomi sebetulnya adalah pertentangan semu. Yang sebenarnya kita Saksikan adalah upaya sistem untuk menyesuaikan diri terhadap kompleksitas masyarakat baru: masyarakat yang tak lagi percaya pada angka, tapi tetap membutuhkan makna.
Ketika Sri Mulyani berbicara tentang angka, dan Prabowo berbicara tentang keadilan, keduanya berbicara tentang hal yang sama: legitimasi. Hanya saja, satu memilih bahasa angka, yang lain memilih bahasa moral.
Tugas ilmuwan sosial bukan memilih salah satu, tetapi memahami dinamika antara keduanya. Sebab hanya dengan memahami bagaimana komunikasi ekonomi dengan politik—melalui produksi yang saling menegosiasikan batas—kita bisa merancang sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan dapat dipercaya.===
Cimahi, 6 Oktober 2025


