Oleh : Dr. Ir. Memet Hakim, MM
Wanhat Aliansi Profesional Indonesia Bangkit (APIB)
Pengamat Pertanian
Tekad Presiden Prabowo untuk swasembada pangan patut diacungi jempol, karena niatnya saja sudaj 50 % dari keberhasilan. Harusnya Prabowo didampingi oleh para ahli tentang pangan khususnya padi, bukan “pembisik politik”. Rencana membuat 100 Batalyon Ketahanan Pangan bukanlah Solusi yang tepat, malah bisa menjadi olok-olok, selain itu akan memerlukan biaya yang cukup tinggi dengan hasil yang tidak memadai.
Ada sekitar 200 jendral yang “menganggur” mereka telah dbekali ilmu manajemen termasuk manajemen perang, gunakan saja mereka ini ke setiap kabupaten yang menghasilkan pangan terutama beras untuk mengawasi operasi pangan Nasional. Sebagaimana diketahui bahwa produktivitas beras ini baru sekitar 50% nya saja dicapai, bisa ditingkatkan menjadi 25% menjadi 80 % dari potensi produktivitasnya yakni dari 3 ton menjadi 4 ton beras. Pada jaman pak Harto ada jendral Bintang 3 yang ditugasi khusus untuk ini, dan ternyata berhasil.
Konsumsi beras Nasional sekitar 2,5 juta ton/bulan. Artinya untuk bisa swasembada diperlukan 30+5juta ton = 35 juta juta ton (cadangan 2 bulan) atau 30 + 7.5 juta ton = 37.5 juta ton (cadangan nasional 3 bulan). Jadi untuk mencapai swasembada beras, setidaknya produksi beras nasional perlu ditingkatkan antara sebesar 17%-25%. Mungkinkah ? Tentu sangat mungkin bahkan lebih dari itupun bisa dilakukan.
Saat ini produksi beras nasional sekitar 30-32 juta ton, sehingga kekurangannya 3-5 juta ton saja, sedang potensinya lapangan sebanyak 40.79 juta ton. Indonesia masih bisa menjadi lumbung pangan, tanpa perluasan areal di Asia Tenggara.
Dulu pernah ada proyek sawah di lahan gambut 1 juta ha dan hasilnya gagal, kemuduan dilanjutkan oproyek yang sama oleh Prabowo saat jadi Menhan, gagal juga. Keduanya merupakan pengalaman yang baik untuk dijadikan pedoman. Tidak mudah tanam padi dikelola secara terpusat.
Untuk meningkatkan produksi Nasional beras dari 30 juta ton menjadi 40 juta ton masih ada alternatif lain yang lebih realistis. Antara lain meningkatkan produktivitasnya dari 3 ton/ha menjadi 4 ton/ha, meningkatkan jumlah sawah yang dapat ditanami 2 x setahun dan mengerem para pengembang untuk merubah sawah menjadi perumahan atau bangunan.
Ada kesalahan mendasar di dalam mindset para pemegang keputusan dalam mengelola suatu Negara, “menganggap pangan sebagai komoditi biasa.” Ini yang harus diperbaiki, yakni :
Pertama, petani itu harus punya pendapatan yang wajar dan cenderung berpendapatan tinggi.
Kedua, Harga beras tidak harus murah, tetapi wajar, sehingga konsumen non petani dapat membelinya
Ketiga, Pemerintah lewat Bulog harus mau membeli Gabah petani setiap saat minimal 20 – 30 % dari kapasitas Nasional.
Keempat Koperasi yang selama ini tidak berkembang harus menjadi Lembaga terdepan untuk membeli Gabah Kering Panen dan diolah menjadi beras. Itulah sebabnya setiap KUD harus memiliki mesin pengering dengan kapasitas memadai.
Alat pengering ini juga dapat digunakan untuk mengeringkan Jagung, kedelai dan serealia lainnya.
Inilah beberapa catatan yang dapat dilakukan agar Indonesia dapat mencapai produksi Nasional sebanyak 48.97 juta ton/tahun, sedang kebutuhan Nasional hanya 35-37.5 juta ton saja.
Dengan adanya tambahan produksi beras sebanyak 18.97 juta ton, maka produksi beras Nasional menjadi 31 juta + 19 Juta = 40 juta ton beras, suatu jumlah yang lebih dari cukup untuk konsumsi Dalam Negeri.
Rincian kenaikkan produksi sebagai berikut :
1. “Meningkatkan areal tanam di sawah ber-irigasi”, cukup dengan memperpaiki saluran irigasi yang telah ada dan memanfaatkannya. Dari sektor ini diperkirakan areal persawahan yang dapat ditanami 2x setahun akan meningkat sebesar 15 % dari 10.46 juta ha menjadi 12.03 juta ha. Artinya sawah yang ditanam 2x per tahun menjadi lebih luas. kenaikkan jumlah sawah yang dapat ditanami 2x dari 140% menjadi 161 %. Jika dilakukan secara bertahap dalam waktu 3-4 tahun tentu tidaklah berat. Langkah ini dapat meningkatkan produksi nasional sebesar 15 % atau 4.54 juta ton beras. Jumlah ini akan lebih besar lagi jika seluruh areal sawah dapat ditanami sebanyak 2x per tahun dan atau luas bakunya bertambah.
2. “Meningkatkan konversi Gabah Kering” Panen sebesar 6.46 % dari realisasi saat ini dari 57.5% menjadi 64 % sesuai dengan pedoman teknis yang ada. Artinya kehilangan saat pengolahan (losses) ditekan sedapat mungkin. Langkah ini dapat meningkatkan produktivitas sebesar 1.96 juta ton beras per tahun
3. “Meningkatkan produktivitas dengan Intensifikasi Massal (INMAS)”, melakukan kembali Gerakan ini dengan memanfaatkan para Mahasiswa san Siswa SMK Pertanian di seluruh Indonesia untuk memberikan penyuluhan di lapangan. Langkah ini diprediksi dapat meningkatkan produktivitas sebesar 5%, inipun tentu tidaklah berat. Langkah ini dapat meningkatkan produksi beras Nasional sebesar 1.51 juta ton /tahun.
4. “Akselerasi Penggunaan Varitas unggul” dengan varitas terbaru yang reratanya potensi mencapai 4.5 ton beras/ha, jika dalam tempo 5 tahun meningkat sebesar 0.4 ton beras/ha yakni dari rerata 2.90 ton/ha menjadi 3.30 ton/ha tentu bukan perkara yang sulit.
5. “Penambahan jumlah dan nilai pupuk disubsidi” sebesar 60 % -70% dari harga pasar sejumlah dari 10 juta ton akan lebih memadai, sehingga produktivitas akan meningkat.
6. “Perlu penataan lagi fungsi Bulog dan Organisasi Petani” agar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) oleh Bulog lebih realisistis dan membuat petani bergairah kembali menanam padi. Diperkirakan peningkatan produktivitasnya dapat mencapai sebesar 0.3 ton beras/ha, sehingga totalnya menjadi 3.65 juta ton. Dengan pedoman Harga GKP minimal 50 % dari harga pasar, motivasi petani untuk menenam padi akan meningkat, semua pihak akan diuntungkan.
7. “Revitalisasi koperasi di Desa”, Kecamatan, Kabupaten sampai Provisi agar menjadi ujung tombak dalam penerimaan hasil Gabah petani dan sekali gus menjadi ujung tombak distribusi sembako di daerah.
8. “Berikan fasilitas alat pengering” pada setiap KUD diwilayah produksi, sehingga gabah yang dikirim ke Bulog benar2 sesuai dengan persyaratan teknis yang ada. Diperlukan pelatihan teknis yang matang untk mengelola alat pengering ini. Energi untuk alat pengering ini sebaiknya menggunakan sekam atau bahan yang serupa.
Jadi 8 kegiatan inilah yang harus diawasi oleh para Jendral yang ditugaskan ke daerah, “sedikitnya ada 6 instansi yang harus disinergikan” yakni Kementerian/Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kementerian Perindustrian terkait produksi dan impor pupuk dan peredarannya, Kementerian Perdagangan terkait distribusi beras dan penghentian impor pangan, Kementerian Koperasi yang menampung produksi petani setelah dikeringkan, Bulog sebagai penampung dan pendistribusian beras Nasional. Sudah barang tentu Bupati selaku Kepala Daerah harus selalu dilibatkan.
Indonesia pernah mempunyai karya besar di bidang pangan yakni ditahun 1960-1970an dengan program Bimas dan Inmas yang mengantarkan Indonesia menjadi swasembada pangan, bahkan menjadi eksportir beras. Artinya “swasembada pangan bisa dicapai, jika ada kemauan kuat dari pemerintah dan para wakil rakyatnya”. Untuk itu diperlukan kemauan politik yang kuat.
Program ini tidak lepas dari dukungan pabrik pupuk yang dibangun di Indonesia. Indonesia yang kaya akan gas alam, mempunyai banyak potensi untuk menghasilkan pupuk Urea, tetapi pupuk KCl tetap harus diimpor karena tidak tersedia di Indonesia. Pupuk Phosphat walau tersedia kadarnya rendah, maka dari itu sebagian masih di impor.
Sebagai gambaran Produksi Beras sejak tahun 2018 sampai sekarang cenderung stagnan dan bahkan menurun, padahal konsumsi beras Nasional selalu meningkat karena pertumbuhan penduduk, termasuk TKA RRC dan wisatawan yang datang. Artinya ada penurunan produksi akibat luasan dan produktivitas berkurang.
“Indonesia perlu menetapkan Areal Pertanian Pangan secara permanen”, sehingga tanah-tanah subur tidak beralih fungsi menjadi perumahan di pinggiran kota. Perumahan sebaiknya di tempatkan di daerah yang kurang atau tidak subur, sehingga produksi pangan Nasional terjaga.
Gagasan Luhut Binsar Panjaitan untuk mendatangkan petani RRC, “sungguh menghinakan bangsa Indonesia”, jendral itu lupa sejak kecil sampai jadi jendral itu makan apa ? Apakah beras dari Cina ? Petani Indonesia tidaklah bodoh seperti jendral tersebut, tapi jika iklim usahanya diganggu terus tentu petani akan berpikir lagi untuk menanam padi.
Petani itu tidak digaji negara, tapi memberi makan negara. Petani jika mau makan harus tanam padi, tapi jika diganggu terus oleh para pejabat dan pedagang, harganya diatur supaya murah terus, artinya importir yang disuruh kaya, iklim usaha seperti ini tidak baik.
Sama halnya dengan gula, iklim usahanya dibuat sedemikian rupa sehingga petani tidak mau tanam tebu lagi, inilah kolaborasi para naga dengan piaraannya di Kementerian,
Petani hancur dan menjadi miskin mungkin itu tujuan pada naga berusaha dan ingin berkuasa di negara ini, sehingga setiap 5 tahun sekali dengan dorongan bantuan sosial, rakyat akan memilih calon boneka sebagai pemimpin bangsa ini.
Dengan dibangunnya pertanian, petani bisa lebih baik kehidupannya, peredaran uang di daerah lebih besar, angka kemiskinan juga akan turun dengan sendirinya. Stop ijin penyedotan dana dari daerah ke pusat lewat retail seperti Indomart, Alfamart, judi online, shopee, Lazada, Tokopedia dan yang serupa dengan itu. Usaha ini merupakan perampokan dana dari daerah ke pusat atau mungkin ke LN.
Tanaman pangan adalah produk pertanian, merupakan tanaman utama dan penting bagi ketahanan pangan dan ketahanan bangsa, sehingga tidak boleh dianggap komoditi biasa yang diukur murah dan mahal.
Semua produk pertanian melibatkan banyak sekali petani dan buruh tani. Petani dan buruh tani itu harus kaya, bukan pejabat atau pedagang saja yang kaya. Saat ini petani melarat, tapi Pejabat dan Pedagang yang kaya.
Mayoritas penduduk Indonesia juga tergantung dari kegiatan pertanian, sehingga kegiatan ini harus mendapatkan perlindungan dan perhatian serius.
Sebagai perbandingan “harga Beras” bulan Januari 2024 di AS Rp 72.000/kg, Kanada Rp 59.000/Kg, Jepang Rp 56.000/Kg, Korea Selatan Rp 52.000/kg, Taiwan Rp 47.000 kg dan di Indonesia cuma Rp 13.000/kg (Data boks, 2024).
Padahal dengan memberikan harga beras sebesar Rp 15.000-16.000, produksi Nasional akan meningkat dengan sendirinya. Impor beras sebenarnya tidak diperlukan, jika harga GKP dijaga minimal 50% dari harga Eceran di pasar.
Perlu revitalisasi dan rekondisi Bulog agar tetap menjadi alat pengontrol iklim usaha tani. Jangan sampai fungsi Bulog malah digantikan oleh pengusaha jahat.
Harga “Gula pasir” di Indonesia, Rp 17.500/kg, Singapura Rp 22.000/kg, di Belanda Rp 30.000/kg di Canada Rp 22,000/kg dan di Australia negara penghasil Gula saja Rp 31.000/kg. Seandainya harga gula ditingkat petani atau pabrik gula disesuaikan menjadi 18.000 saja dan harga dieceran sekitar Rp 20.000-22.000, maka produksi Gula Nasional akan merangkak naik.
“Pembunuh industri gula” itu adalah adanya pabrik Rafinasi yang dimiliki oleh para konglomerat. Pabrik Rafinasi adalah akal-akalan para naga dan pejabat untuk cari duit, yang akhirnya membuat petani tebu tidak berdaya menghadapi persaingan tidak sehat ini.
Harga Minyak goreng” di Indonesia Rp 17.000/kg, Belanda Rp 35.000 di Malaysia Rp 24.000, itulah sebabnya harga TBS di pabrik Kelapa Sawit selalu rendah di beli oleh Pabrik Kelapa Sawit, artinya petani sawit mensubsidi orang kaya. Perkebunan sawit asing sampai saat ini “belum pernah membayar royalty pada pemerintah” atas penggunaan lahan dan air, dana royalty dapat memperkuat keuangan negara.
Sudah saatnya petani baik pangan maupun non pangan menjadi kaya. Petani bukan manusia super yang selalu diminta kontribusinya memberi makan penduduk Indonesia, tetapi dianggap sebagai kasta rendah.
Pekerjaan sebagai petani atau buruh tani itu sungguh mulia, sama saja dengan ASN, TNI, Polri dan karyawan industri lainnya, hanya saja mereka menggaji dirinya sendiri, dari hasil usaha taninya. Perbaikan iklim usaha ini akan memanggil para pemuda untuk kembali ke desa bekerja di bidang pertanian, sehingga generasi muda tidak menumpuk di perkotaan.
Bandung, 2 Desember 2024