
Pada sidang perdana, Selasa (20/1), Ahmad Wirawan Adnan, Kuasa Hukum Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya norma tersebut. Pemohon berpendapat, Pasal 2 ayat (3) frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dan Pasal 3 ayat (2) frasa “ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah” UU Nomor 20 Tahun 1997 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena Pemerintah atas perintah UU Nomor 20 Tahun 1997 menerbitkan PP yang mewajibkan Pemohon untuk membayar sejumlah iuran setiap bulannya kepada Badan Pengatur (BPH Migas).
Selain itu, Pemohon juga menilai Pasal 2 ayat (3) frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dan Pasal 3 ayat (2) frasa “ditetapkan dalam UU atau PP” UU Nomor 20 Tahun 1997 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD ’45, karena Pemerintah telah memaksakan pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam kegiatan usaha hilir gas bumi tersebut dalam PP-Iuran secara sepihak, di mana Pemohon sebagai subyek hukun memiliki hak untuk dapat memberikan masukan dan selanjutnya menyetujui melalui wakil-wakilnya di DPR-RI, terhadap penetapan jenis, besaran/tarif, dan tata cara pembayaran PNBP yang dimaksudkan dalam pasal tersebut, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 23A UUD 1945.
Namun, Hakim Konstitusi Muhammad Alim memberikan nasihat pada Pemohon untuk dapat membedakan antara peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Hakim Konstitusi Anwar Usman juga meminta Pemohon untuk lebih mengelaborasi isi permohonan. Oleh karena itu, pada sidang lanjutan, Selasa (3/2), kuasa hukum Pemohon, Muhammad Sentot menyampaikan sejumlah perbaikan, di antaranya mengganti frasa permohonan maupun frasa petitum. Kemudian Pemohon juga mempertimbangkan permohonan konstitusional bersyarat. Selain itu, Pemohon juga mempersingkat petitum dari 12 poin menjadi 4 poin. Pada sidang kali itu, Majelis Hakim juga mengesahkan bukti-bukti yang diajukan Pemohon. (NA)